Selasa, 26 Mei 2009

kenapa?

pada umumnya manusia melihat baik-buruknya seseorang berdasarkan perilaku yang diperbuat oleh manusia tersebut. mengenai pemikirannya, orang tidak akan mempedulikannya. kadang orang yang baik pemikirannya, bisa dianggap buruk karena alasan buruknya perilakunya. padahal untuk mengatakan baik-buruknya perilaku seseoarang harus ada dasar atau standarnya. tidak boleh bagi kita mengatakan buruk terhadap sesuatu padahal kita belum tahu standar buruknya sesuatu itu. begitu pula sebaliknya.

Senin, 25 Mei 2009

intuisi

orang bijak ialah oarng yang tidak membutuhkan motivasi duniawi. namun mereka lebih menyukai motivasi yang datangnya dari dalam dirinya sendiri dan dari intusi.

bijak.

menjadi orang bijak itu mudah asalkan anda mempunyai niat untuk berubah menjadi orang yang bijak dengan meninggalkan larangan-larangan yang mengahalangi manusia untuk berubah menjadi bijak. dintara larangan tersebut ialah janganlah Anda merasa sedih saat berbuat buat dalam keadaaan tidak dilihat orang lain.

pantang mundur

ajakan belum tentu sepenuhnya dipenuhi oleh orang yang kita ajak. adakalanya orang-orang yang kita ajak merasa jenuh dengan dakwah kita. adakalanya orang yang kita ajak merasa ada gangguan besar yang datangnya dari kita, adakalanya orang yang kita ajak mengejek ajakn kita. melihat kondisi tersebut kita tidak usah kaget dengan sikap orang-orang yang menolak ajakan kita. kita ini bel;um seperti para pejuang agama allah di masa terdahulu. kita ini masih kecil bila dibandingkan sahabt-sahabat nabi. oleh karena itu, wahai saudaraku janganlah anda merasa putus asa terhadap orang-orang yang menyepelekan ajakan anda. boleh jadi hal itru merupakan ujian ALlah agar anda menjadi hamba yang kuat imannya, bukan hamba yang lemah imannya.

trik sukses sementara

Melangkah menuju hal yang akan kita capai perlu adanya niat yang kuat serta doa atau rasa kepasrahan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada bebrapa hal yang perlu Anda perhatikan: 1) berniatlah usaha anda pasti berhasil, 2) kerjakan usaha anda dengan sungguh-sungguh, 3) pusatkan perhatian anda pada nilai-nilai kemanfaatn kepada kalayak, 4) perhatikan norma-norma yang berlaku di masyarakat, dan 5) bertawakkllah kepada Tuhan Yang Maha Esa.

budaya membaca

Budidayakan Budaya Membaca


Menjadi manusia yang cerdas, kreatif, dan pintar bukanlah suatu hal yang sulit. Asalkan kita mau membaca dengan tekun dan sungguh-sungguh harapan untuk menjadi manusia cerdas, kreatif, dan pintar bisa tercapai. Membaca bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak sekali diantara kita yang sulit untuk membaca bacaan. Hal ini yang dimaksud membaca ialah memahami, merenungi, menilai, dan mengkritik bacaan dengan baik dan benar. Adakalanya diantara kita membaca sekedar iseng, waktu ditanya tentang isi bacaan yang telah dibaca dia tidak bisa menjawab. Atau, saat melihat bacaan yang hanya beberapa lembar kita sudah merasa tidak mampu untuk menyerap informasi yang ada pada bacaan tersebut. Walhasil, kita pun tidak mampu menyerap bacaan tersebut. Orang yang memiliki kemampuan dalam menyerap pengetahuan secara cepat dan bisa menangani suatu masalah, baik yang ada pada dirinya sendiri maupun yang ada pada lingkungan sekitar sebenanrnya dialah yang dianggap sebagai manusia super. Dengan kemampuan otaknya segala hal yang ada di sekitarnya bisa terselesaikan. Hal itu bisa dilakukan apabila diri seseorang memiliki kemampuan membaca secara cepat dan serius. Oleh karena itu membaca sangat penting bagi kita, apalagi kita sebagai mahasiswa yang memiliki tugas banyak dari dosen dan memiliki tanggung jawab besar terhadap masalah sosial masyarakat indonesia.

Ada beberapa manfaat membaca yang dapat kita petik. Hal itu antara lain: 1) dapat mengusir perasaan cemas, 2) dapat menjauhkan diri dari golongan orang yang tak punya aktivitas, 3) dapat mencarahkan akal pikiran dan hati nurani, 4) dapat meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan daya ingat serta pemahaman, dan 5) dapat mempertebal iman, khususnya apabila kita memperbanyak membaca buku-buku motivasi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat membaca: 1) buatlah pertanyaan 5W+1H (what, why, when, who, where, dan how) yang ada kaitannya dengan bacaan tersebut, 2) bacalah sekilas bacaan tersebut, 3) bacalah keseluruhan bacaan tersebut dengan penuh pemahaman, 4) jawablah pertanyaan yang anda buat, dan 5) buatlah rangkuman hasil bacaan. Usahakan sikap Anda saat membaca ialah: 1) badan rileks, 2) fokus, 3) dan niatlah membaca memenuhi perintah Tuhan bukan karena yang lain-lain. Dengan begitu Anda akan meresa gampang menyerap isi bacaan.

Kalau membaca merupakan perintah Tuhan seharusnya kita melaksanakan perintah ini dengan baik dan benar. Kita pergunakan waktu 24 jam ini dengan banyak membaca. Kita bisa membaca buku, potensi diri, atau membaca alam. Yang penting, kita bisa merasakan nikmatnya kebesaran Tuhan atas keluasan ilmu-Nya sehingga kita bisa lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Janganlah kita menganggap sempit terhadap makna kata “membaca”. Membaca tidak hanya terbatas pada buku, akan tetapi membaca juga pada objek apa saja yang ada di sekitar kita.

Tujuan hakiki membaca ialah menjadikan manusia bijak, santun, dan peka terhadap masalah sosial. Kita bisa menjadi manusia bijak, santun, dan peka terhadap masalah sosial secara otodidak manakala kita tidak membuang kertas yang kita temui di sekitar kita. Bila ada kertas kosong janganlah tergesa-gesa Anda buang. Perhatikan kertas kosong tersebut dengan kemampuan perenungan Anda. Buatlah kertas kosong tersebut menjadi bermakna bagi diri sendiri dan orang lain. Apalagi Anda menemukan kertas yang ada tulisannya. Hal yang perlu Anda lakukan ialah: 1) baca, 2) pahami, 3) renungi, 4) analisislah, 5) komentari, dan 6) diskusikan kepada penulisnya. Dengan demikian Anda akan menjadi manusia yang cendikiawan sejati, yaitu manakala seseorang bertanya kepada anda tentang suatu masalah apapun Anda bisa menjawabnya dengan baik dan benar sehingga orang tersebut merasa puas atas jawaban anda.

Apabila Anda menemukan tulisan yang tidak sejalan dengan pemahaman anda jangan dibuang tulisan tersebut. Namun, bacalah dengan sunggguh-sungguh, berilah komentar terhadap bacaan tersebut, dan diskusikan kepada penulisnya karena hal itu bisa membantu kerja otak anda menjadi berkembang dari waktu ke waktu. Dan bila ada tulisan yang sejalan dengan pemikiran anda segera lakukan baca cepat dan penuh dengan pemahaman.

Manusia berbudaya ialah manusia yang banyak membaca terhadap apa saja. Mari kita jadikan kampus FBS ini menjadi kampus yang berbudaya membaca. Keberhasilan usaha kita dalam membudidayakan membaca bisa terlihat di sudut-sudut kampus banyak mahasiswa yang membaca, yang berdiskusi, yang mempraktikkan isi bacaan tersebut, dan yang lain-lain. Kiranya belum muncul benih-benih mahasiswa yang berbudaya membaca mari kita gerakkan antusias membaca pada diri kita masing-masing.

Setelah rampung membaca langkah berikutnya ialah mempraktikkan pokok pikiran isi bacaan. Janganlah ilmu yang sudah kita dapat dari membaca kita simpan begitu saja tanpa adanya sikap pengamalan. Akan tetapi, mari kita amalkan dan kita kembangkan ilmu-ilmu kita walaupun sedikit sehingga terwujud masyarakat yang berbudi pekerti tinggi.


enak ni.

Budidayakan Budaya Membaca


Menjadi manusia yang cerdas, kreatif, dan pintar bukanlah suatu hal yang sulit. Asalkan kita mau membaca dengan tekun dan sungguh-sungguh harapan untuk menjadi manusia cerdas, kreatif, dan pintar bisa tercapai. Membaca bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak sekali diantara kita yang sulit untuk membaca bacaan. Hal ini yang dimaksud membaca ialah memahami, merenungi, menilai, dan mengkritik bacaan dengan baik dan benar. Adakalanya diantara kita membaca sekedar iseng, waktu ditanya tentang isi bacaan yang telah dibaca dia tidak bisa menjawab. Atau, saat melihat bacaan yang hanya beberapa lembar kita sudah merasa tidak mampu untuk menyerap informasi yang ada pada bacaan tersebut. Walhasil, kita pun tidak mampu menyerap bacaan tersebut. Orang yang memiliki kemampuan dalam menyerap pengetahuan secara cepat dan bisa menangani suatu masalah, baik yang ada pada dirinya sendiri maupun yang ada pada lingkungan sekitar sebenanrnya dialah yang dianggap sebagai manusia super. Dengan kemampuan otaknya segala hal yang ada di sekitarnya bisa terselesaikan. Hal itu bisa dilakukan apabila diri seseorang memiliki kemampuan membaca secara cepat dan serius. Oleh karena itu membaca sangat penting bagi kita, apalagi kita sebagai mahasiswa yang memiliki tugas banyak dari dosen dan memiliki tanggung jawab besar terhadap masalah sosial masyarakat indonesia.

Ada beberapa manfaat membaca yang dapat kita petik. Hal itu antara lain: 1) dapat mengusir perasaan cemas, 2) dapat menjauhkan diri dari golongan orang yang tak punya aktivitas, 3) dapat mencarahkan akal pikiran dan hati nurani, 4) dapat meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan daya ingat serta pemahaman, dan 5) dapat mempertebal iman, khususnya apabila kita memperbanyak membaca buku-buku motivasi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat membaca: 1) buatlah pertanyaan 5W+1H (what, why, when, who, where, dan how) yang ada kaitannya dengan bacaan tersebut, 2) bacalah sekilas bacaan tersebut, 3) bacalah keseluruhan bacaan tersebut dengan penuh pemahaman, 4) jawablah pertanyaan yang anda buat, dan 5) buatlah rangkuman hasil bacaan. Usahakan sikap Anda saat membaca ialah: 1) badan rileks, 2) fokus, 3) dan niatlah membaca memenuhi perintah Tuhan bukan karena yang lain-lain. Dengan begitu Anda akan meresa gampang menyerap isi bacaan.

Kalau membaca merupakan perintah Tuhan seharusnya kita melaksanakan perintah ini dengan baik dan benar. Kita pergunakan waktu 24 jam ini dengan banyak membaca. Kita bisa membaca buku, potensi diri, atau membaca alam. Yang penting, kita bisa merasakan nikmatnya kebesaran Tuhan atas keluasan ilmu-Nya sehingga kita bisa lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Janganlah kita menganggap sempit terhadap makna kata “membaca”. Membaca tidak hanya terbatas pada buku, akan tetapi membaca juga pada objek apa saja yang ada di sekitar kita.

Tujuan hakiki membaca ialah menjadikan manusia bijak, santun, dan peka terhadap masalah sosial. Kita bisa menjadi manusia bijak, santun, dan peka terhadap masalah sosial secara otodidak manakala kita tidak membuang kertas yang kita temui di sekitar kita. Bila ada kertas kosong janganlah tergesa-gesa Anda buang. Perhatikan kertas kosong tersebut dengan kemampuan perenungan Anda. Buatlah kertas kosong tersebut menjadi bermakna bagi diri sendiri dan orang lain. Apalagi Anda menemukan kertas yang ada tulisannya. Hal yang perlu Anda lakukan ialah: 1) baca, 2) pahami, 3) renungi, 4) analisislah, 5) komentari, dan 6) diskusikan kepada penulisnya. Dengan demikian Anda akan menjadi manusia yang cendikiawan sejati, yaitu manakala seseorang bertanya kepada anda tentang suatu masalah apapun Anda bisa menjawabnya dengan baik dan benar sehingga orang tersebut merasa puas atas jawaban anda.

Apabila Anda menemukan tulisan yang tidak sejalan dengan pemahaman anda jangan dibuang tulisan tersebut. Namun, bacalah dengan sunggguh-sungguh, berilah komentar terhadap bacaan tersebut, dan diskusikan kepada penulisnya karena hal itu bisa membantu kerja otak anda menjadi berkembang dari waktu ke waktu. Dan bila ada tulisan yang sejalan dengan pemikiran anda segera lakukan baca cepat dan penuh dengan pemahaman.

Manusia berbudaya ialah manusia yang banyak membaca terhadap apa saja. Mari kita jadikan kampus FBS ini menjadi kampus yang berbudaya membaca. Keberhasilan usaha kita dalam membudidayakan membaca bisa terlihat di sudut-sudut kampus banyak mahasiswa yang membaca, yang berdiskusi, yang mempraktikkan isi bacaan tersebut, dan yang lain-lain. Kiranya belum muncul benih-benih mahasiswa yang berbudaya membaca mari kita gerakkan antusias membaca pada diri kita masing-masing.

Setelah rampung membaca langkah berikutnya ialah mempraktikkan pokok pikiran isi bacaan. Janganlah ilmu yang sudah kita dapat dari membaca kita simpan begitu saja tanpa adanya sikap pengamalan. Akan tetapi, mari kita amalkan dan kita kembangkan ilmu-ilmu kita walaupun sedikit sehingga terwujud masyarakat yang berbudi pekerti tinggi.


Budidayakan Budaya Membaca

Budidayakan Budaya Membaca


Menjadi manusia yang cerdas, kreatif, dan pintar bukanlah suatu hal yang sulit. Asalkan kita mau membaca dengan tekun dan sungguh-sungguh harapan untuk menjadi manusia cerdas, kreatif, dan pintar bisa tercapai. Membaca bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak sekali diantara kita yang sulit untuk membaca bacaan. Hal ini yang dimaksud membaca ialah memahami, merenungi, menilai, dan mengkritik bacaan dengan baik dan benar. Adakalanya diantara kita membaca sekedar iseng, waktu ditanya tentang isi bacaan yang telah dibaca dia tidak bisa menjawab. Atau, saat melihat bacaan yang hanya beberapa lembar kita sudah merasa tidak mampu untuk menyerap informasi yang ada pada bacaan tersebut. Walhasil, kita pun tidak mampu menyerap bacaan tersebut. Orang yang memiliki kemampuan dalam menyerap pengetahuan secara cepat dan bisa menangani suatu masalah, baik yang ada pada dirinya sendiri maupun yang ada pada lingkungan sekitar sebenanrnya dialah yang dianggap sebagai manusia super. Dengan kemampuan otaknya segala hal yang ada di sekitarnya bisa terselesaikan. Hal itu bisa dilakukan apabila diri seseorang memiliki kemampuan membaca secara cepat dan serius. Oleh karena itu membaca sangat penting bagi kita, apalagi kita sebagai mahasiswa yang memiliki tugas banyak dari dosen dan memiliki tanggung jawab besar terhadap masalah sosial masyarakat indonesia.

Ada beberapa manfaat membaca yang dapat kita petik. Hal itu antara lain: 1) dapat mengusir perasaan cemas, 2) dapat menjauhkan diri dari golongan orang yang tak punya aktivitas, 3) dapat mencarahkan akal pikiran dan hati nurani, 4) dapat meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan daya ingat serta pemahaman, dan 5) dapat mempertebal iman, khususnya apabila kita memperbanyak membaca buku-buku motivasi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat membaca: 1) buatlah pertanyaan 5W+1H (what, why, when, who, where, dan how) yang ada kaitannya dengan bacaan tersebut, 2) bacalah sekilas bacaan tersebut, 3) bacalah keseluruhan bacaan tersebut dengan penuh pemahaman, 4) jawablah pertanyaan yang anda buat, dan 5) buatlah rangkuman hasil bacaan. Usahakan sikap Anda saat membaca ialah: 1) badan rileks, 2) fokus, 3) dan niatlah membaca memenuhi perintah Tuhan bukan karena yang lain-lain. Dengan begitu Anda akan meresa gampang menyerap isi bacaan.

Kalau membaca merupakan perintah Tuhan seharusnya kita melaksanakan perintah ini dengan baik dan benar. Kita pergunakan waktu 24 jam ini dengan banyak membaca. Kita bisa membaca buku, potensi diri, atau membaca alam. Yang penting, kita bisa merasakan nikmatnya kebesaran Tuhan atas keluasan ilmu-Nya sehingga kita bisa lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Janganlah kita menganggap sempit terhadap makna kata “membaca”. Membaca tidak hanya terbatas pada buku, akan tetapi membaca juga pada objek apa saja yang ada di sekitar kita.

Tujuan hakiki membaca ialah menjadikan manusia bijak, santun, dan peka terhadap masalah sosial. Kita bisa menjadi manusia bijak, santun, dan peka terhadap masalah sosial secara otodidak manakala kita tidak membuang kertas yang kita temui di sekitar kita. Bila ada kertas kosong janganlah tergesa-gesa Anda buang. Perhatikan kertas kosong tersebut dengan kemampuan perenungan Anda. Buatlah kertas kosong tersebut menjadi bermakna bagi diri sendiri dan orang lain. Apalagi Anda menemukan kertas yang ada tulisannya. Hal yang perlu Anda lakukan ialah: 1) baca, 2) pahami, 3) renungi, 4) analisislah, 5) komentari, dan 6) diskusikan kepada penulisnya. Dengan demikian Anda akan menjadi manusia yang cendikiawan sejati, yaitu manakala seseorang bertanya kepada anda tentang suatu masalah apapun Anda bisa menjawabnya dengan baik dan benar sehingga orang tersebut merasa puas atas jawaban anda.

Apabila Anda menemukan tulisan yang tidak sejalan dengan pemahaman anda jangan dibuang tulisan tersebut. Namun, bacalah dengan sunggguh-sungguh, berilah komentar terhadap bacaan tersebut, dan diskusikan kepada penulisnya karena hal itu bisa membantu kerja otak anda menjadi berkembang dari waktu ke waktu. Dan bila ada tulisan yang sejalan dengan pemikiran anda segera lakukan baca cepat dan penuh dengan pemahaman.

Manusia berbudaya ialah manusia yang banyak membaca terhadap apa saja. Mari kita jadikan kampus FBS ini menjadi kampus yang berbudaya membaca. Keberhasilan usaha kita dalam membudidayakan membaca bisa terlihat di sudut-sudut kampus banyak mahasiswa yang membaca, yang berdiskusi, yang mempraktikkan isi bacaan tersebut, dan yang lain-lain. Kiranya belum muncul benih-benih mahasiswa yang berbudaya membaca mari kita gerakkan antusias membaca pada diri kita masing-masing.

Setelah rampung membaca langkah berikutnya ialah mempraktikkan pokok pikiran isi bacaan. Janganlah ilmu yang sudah kita dapat dari membaca kita simpan begitu saja tanpa adanya sikap pengamalan. Akan tetapi, mari kita amalkan dan kita kembangkan ilmu-ilmu kita walaupun sedikit sehingga terwujud masyarakat yang berbudi pekerti tinggi.


Sabtu, 23 Mei 2009

humaniora

Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika

BENARKAH penerbitan foto-foto pamer aurat sejumlah artis model yang dikritik dan diprotes masyarakat itu pornografi? Tidak benar, bantah yang diprotes dan para pendukungnya. Para artis model yang menyediakan tubuhnya dipotret, juru fotonya, yang menerbitkan foto-foto itu, yang mendukung penerbitannya, semua mengklaim, gambar-gambar itu karya seni. Apa Anda tidak menangkap keindahan pada tubuh terbuka dengan pose mana-suka itu berkat kreativitas pencahayaan dan pencetakan yang canggih?

Para pornokrat itu juga membela dari sudut kebebasan pers. Perintah instansi kepolisian menarik peredaran majalah yang memuat foto-foto yang dipersoalkan masyarakat dianggap sebagai pelanggaran langsung atas prinsip kebebasan pers. Sejumlah orang pers sendiri mendukung anggapan terakhir ini. Argumen-argumen membela penerbitan pornografi itu umumnya lemah, namun prinsipial karena menggunakan alasan estetika dan kebebasan pers.

Estetika modernis

Sebenarnya tak ada yang baru dalam kontroversi sekitar pornografi - dari kata Yunani porne artinya 'wanita jalang' dan graphos artinya gambar atau tulisan. Sudah dapat diduga bahwa masyarakat dari berbagai kalangan akan bereaksi terhadap penerbitan gambar-gambar yang dianggap melampaui ambang rasa kesenonohan mereka. Seperti biasanya pula, menghadapi reaksi masyarakat itu, para pornokrat membela dengan menuntut definisi, apa yang seni dan apa yang pornografi? Akan tetapi apa yang membedakan foto-foto buka aurat para artis model itu dengan lukisan perempuan telanjang. Affandi misalnya? Mengapa lukisan Affandi (misalnya Telanjang/ 1947 dan Telanjang dan Dua Kucing/1952) dianggap karya seni, sedang foto-foto pose panas Sophia Latjuba dan kawan-kawan dianggap pornografi? Padahal dibandingkan lukisan perempuan telanjang Affandi yang tubuhnya tampak depan tanpa terlindung sehelai benang pun, foto-foto menantang para artis itu tidak secara langsung memperlihatkan lokasi-lokasi vital-strategisnya!

Dari dalam teori estetika, teori tradisional "standar" akan menjawab, perbedaannya terletak dalam cara bagaimana sosok perempuan dengan ketelanjangannya itu diperlakukan atau ditangkap. Kata kuncinya di sini adalah apa yang disebut "pengalaman estetik" yang dirumuskan dalam 3-D: disinterestedness (tak berpamrih), detachment (tak terserap), distance (berjarak - secara emosional). Melihat keindahan, misalnya karya Affandi contoh kita atau ciptaan alam, orang akan mendapat pengalaman estetik, pengalaman yang tak berpamrih apa-apa, tak terserap oleh obyek yang dihadapi, dan secara emosional tetap berjarak. Yang sebaliknya terjadi apabila orang melihat gambar-gambar erotis atau pornografi. Foto-foto erotik dan pornografi itu mengundang pamrih, membuat orang terlibat dan terserap.

Dalam bahasa teori, lukisan perempuan telanjang Affandi menampilkan nilai intrinsik, dan merupakan tujuan pada dirinya sendiri, lukisan Affandi membangun situasi kontemplatif pada peminatnya. Sebaliknya foto-foto panas pada artis model itu menampilkan nilai ekstrinsik, bertujuan lain di luar dirinya (promosi, meningkatkan penjualan, membangkitkan syahwat, kekerasan seksual); foto-foto panas para artis model itu membangun situasi pragmatik untuk bertindak "strategis" (menguasai, merayu, memaksa, dan seterusnya). Pernyataan pengasuh salah satu penerbitan itu "Kami punya segmen pasar sendiri", sudah menjelaskan ini.

Apakah lukisan perempuan telanjang Affandi tidak mungkin membangkitkan birahi yang melihatnya? Tentu saja mungkin dan bisa. Apabila itu terjadi, atau lukisan Affandi itu gagal sebagai karya seni, atau penonton itu sendiri belum cukup memiliki kesiapan, pengalaman, apresiasi, dan seterusnya untuk memperoleh pengalaman estetik dari melihat lukisan tersebut.

Disamping itu, sebagai karya representasional, seni lukis itu unik, sedang foto-foto perempuan model itu tidak unik. Orang dapat mencetak foto-foto para model itu seberapa pun banyaknya dengan mutu persis sama, tetapi mustahil menduplikasi lukisan telanjang Affandi tanpa kehilangan segala kualitas yang ada pada lukisan aslinya. Pada yang kedua perbanyakan bisa tetap dengan produksi, tetapi pada yang pertama perbanyakan hanya pada tingkat reproduksi. Namun seperti sudah disebutkan, itu adalah faham teori estetika standar dominan, yang kini disebut juga teori modernis. Sejak awal 1970-an faham estetika modernis itu sudah mendapat tantangan kuat dari aliran yang disebut post-modern (posmo) yang menolak pandangan estetika modernis itu.

Teori modernis, sebagai bagian dari pandangan filsafat kemajuan (progress) abad 19 yang menganggap sejarah sebagai proses kemajuan yang berlangsung linier, percaya pada peran besar seni dan seniman dalam yang disebutnya kemajuan sosial. Teori modernis dapat dianggap mencakup seni borjuis dan estetisme, dua tipologi terakhir dari empat tipologi Peter Burger yang dimulai dari Seni Sakral dan Seni Istana. Seni modern telah melepaskan diri dari institusi (gereja maupun istana), membangun wilayahnya sendiri dengan kedudukan seniman yang dianggap otonom.

Bagi estetika modernis perempuan tanpa baju (nude female) tidaklah sama dengan wanita bugil (naked woman). Lukisan Affandi adalah lukisan perempuan tanpa baju, perempuan dalam keadaan alamiah; tetapi pornografi adalah foto-foto wanita bugil atau setengah bugil, wanita yang mempertontonkan auratnya. Ketelanjangan yang diekspresikan lukisan Affandi bukan aspek seksual perempuan itu melainkan apa yang disimbolkannya (kesuburan, kelembutan, dan sebagainya); ketelanjangan yang diekspresikan pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya). Estetika modernis membuat pagar pemisah antara yang disebut seni murni (high art) dari yang biasa-biasa atau sekadar seni pop.

Tantangan posmodern

Posmodern menolak pandangan estetika modernis itu. Posmo membongkar pagar pemisah seni tinggi dan seni pop, dan menganggap seni tidak bisa dipisahkan dari bidang-bidang kehidupan lain, ekonomi, politik, dan sosial. Apakah seni tinggi atau seni rendah, sama-sama merupakan bagian dari kecenderungan yang mendominasi kehidupan sosial.

Bagi posmodern tak masuk akal membedakan dua perempuan sama-sama terbuka auratnya, yang satu disebut perempuan dalam keadaan alamiah yang lainnya disebut wanita bugil, keduanya adalah perempuan telanjang sebagai obyek. Masalahnya bukan bahwa yang satu karya seniman yang lain bukan, melainkan bahwa perempuan-perempuan telanjang itu, sejak zaman klasik sampai ke mutakhir, ditampilkan sebagaimana lelaki ingin melihatnya. Gambar-gambar perempuan telanjang, apakah lukisan, patung, foto-foto, bagi posmo hanya menegaskan struktur masyarakat yang patriarkis. Taruhlah perempuan telanjang lukisan Affandi hendak menampilkan perempuan sebagai simbol kesuburan, tetapi siapa yang menentukan makna itu?

Karena itu bagi posmo, tak ada gunanya definisi seni, karena masalahnya bukan mendefinisikan apa itu seni, apa itu indah, melainkan siapa yang mengendalikan dan mendominasi kehidupan sosial kita. Yang terjadi selama ini adalah ideologisasi seni, dan dalam soal kontroversi pornografi masalahnya adalah eksploitasi dan marginalisasi perempuan. Ironisnya, para perempuan model itu ikut ambil bagian dalam proses penistaan martabatnya sendiri.

Seni atau bukan, bermutu atau tidaknya suatu karya, bagi posmo tidak ditentukan oleh suatu kriteria obyektif, melainkan oleh ideologi politik yang dominan. Kaum Marxis atau komunis akan membuat kriteria yang disebutnya realisme sosialis dengan semboyan seni untuk rakyat, yang lain barangkali memperjuangkan yang disebutnya humanisme universal dengan semboyan seni untuk seni. Semua aliran itu mengklaim kriterianya obyektif, tetapi sebenarnya tujuannya menyeragamkan ukuran saja.

Posmodern menolak penyeragaman. Bagi modernis kriteria estetik lebih diletakkan pada seniman, pada posmodern kriteria ada pada siapa saja. Memang kritik utama terhadap posmodern adalah relativismenya yang bahkan menjurus ke anarkisme.

Rambu etika dan justisia

Namun jelas sudah, baik estetika modernis maupun posmodern, sama-sama menolak pornografi, meski dengan alasan berbeda. Estetika modernis tegas menganggap pornografi bukan seni dan merekomendasikan agar pornografi ditiadakan atau dikontrol ketat karena secara sosial berbahaya. Estetika posmodern juga merekomendasikan pornografi dienyahkan, bukan karena pertimbangan seni atau bukan seni, melainkan karena mengeksploitasi keperempuanan sebagai komoditas, dan merendahkan martabat perempuan. Jadi pornografi tidak dapat dibela dari dalam teori estetika, lama maupun baru. Pornografi memang bukan masalah estetika, melainkan masalah etika.

Setiap masyarakat memiliki standar moralitas yang tanpa itu eksistensi masyarakat itu sendiri goyah atau bahkan berakhir. Moralitas pada dasarnya berfungsi melindungi baik dunia sosial bersama maupun dunia subyektif masing-masing individu. Tentu standar moralitas itu juga berkembang bersama perkembangan masyarakat pendukungnya. Potensi-potensi kreatif dalam masyarakat sewaktu-waktu akan tampil menawarkan alternatif, juga unsur-unsur luar akan ikut bertarung mendapatkan tempat berpijak dalam masyarakat.

Akan tetapi di pihak lain, masyarakat dan setiap anggotanya, berhak melindungi diri dan eksistensinya dari apa-apa yang dianggap immoral, baik yang sifatnya sekadar bertentangan dengan standar moralitas yang ada (seperti mempublikasikan gambar-gambar erotik dan pornografi), maupun yang dikhawatirkan dapat membawa konsekuensi fundamental terhadap tata-nilai dan tata-hubungan-sosial yang masih diakui (misalnya tuntutan melegalkan homoseksual, perkawinan sesama jenis). Realisasi hak itu adalah penggunaan institusi perangkat hukum yang ada oleh masyarakat. Inilah landasan moral pelarangan pornografi berikut ancaman sanksi hukumnya.

Dan justru karena merupakan masalah etika, pornografi tidak dapat berlindung di belakang kebebasan pers. Apa yang disebut kebebasan pers bukan kebebasan subyektif yang berkaitan dengan etika privat, melainkan kebebasan yang sifatnya politik berkaitan dengan etika sosial. Artinya, kebebasan pers tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya pada ruang sosial bersama.

Kebebasan pers merupakan hak yang sifatnya korelatif, hak untuk terealisasinya hak lain, yaitu hak warga untuk mendapat informasi serta hak menyatakan pendapat dan mengontrol kekuasaan, kekuasaan negara atau pemerintah, tetapi juga kekuasaan masyarakat, termasuk kekuasaan pers sendiri. Jadi dasar legitimasi kebebasan pers konstruktif, tidak bisa destruktif. Adalah konstruktif, dan karenanya absah, apabila kebebasan pers digunakan membongkar kasus perkosaan, tetapi adalah destruktif apabila kebebasan pers itu digunakan menggambarkan secara sensasional bagaimana perkosaan itu berlangsung.

Kata seorang pemikir, dalam diri setiap kita bertemu konflik kehendak dan hierarki kehendak, dan moralitas dapat memberi petunjuk menentukan prioritas kehendak yang tidak konflik dengan tata-nilai yang masih diakui absah dalam dunia sosial bersama. Tetapi di tangan yang tak kompeten, kebebasan pers memang rawan penyalahgunaan. Karena itu, di samping rambu etik, yang prinsip positifnya sudah dirumuskan sendiri dalam yang disebut kode etik pers, kebebasan pers memerlukan juga kawalan rambu-rambu yustisia.

Bur Rasuanto, pengarang, doktor dalam Filsafat Sosial.

Sumber: http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/9908/11/opini/porn04.htm

humaniora

Tuhan Pasca-Tsunami

Sudah bisa diduga, dalam bencana besar seperti gempa pemboyong tsunami yang menewaskan tak kurang dari 100.000 orang Aceh ini, akan banyak sekali orang yang tidak puas dengan sekadar penjelasan ilmiah. Keterangan para ahli gempa dan tsunami soal lempengan-lempengan bumi yang bergeser setiap tahun, lantas bergetar, menelan dan lalu memuntahkan air yang sedemikian dahsyat tidak dianggap memadai untuk memuaskan dahaga keingintahuan mereka.

Makanya, selalu ada banyak orang yang terobsesi untuk tahu lebih dalam tentang penyebab terjauh dari semua itu dengan melontarkan pelbagai ultimate questions. Kalau sudah berpikir soal penyebab terjauh, perbincangan tentulah sudah masuk ke ranah filsafat atau teologi. Lantas muncullah pertanyaan: sejauh apa peran Tuhan di dalam "menghajar" sedemikian banyak korban itu? Pada titik inilah spekulasi-spekulasi teologis berlangsung dengan begitu liarnya.

Dan, benar saja. Menurut teman tadi, di masyarakat kita, kini ada beberapa spekulasi teologis yang semarak bermunculan pascagempa dan tsunami yang mengentakkan nurani dunia itu. Pertama, bagi "kiai-kiai Orba" yang punya corong untuk berkhotbah di masjid-masjid itu, bencana sebesar ini tak lain adalah hukuman Tuhan atas kealpaan dan kesombongan kita selama ini. Lebih spesifik, mereka bahkan menyebut bencana ini sebagai akibat atau buah dari pertikaian antara pelbagai elemen anak bangsa di Serambi Mekkah yang tidak kunjung usai.

Dengan elaborasi yang cenderung menyederhanakan, mereka menyayangkan TNI dan GAM yang saling bunuh. Sementara itu, rakyat Aceh juga tak kunjung taat terhadap Ibu Pertiwi, NKRI. Demikianlah tafsiran teologis yang sepenuhnya spekulatif dan kental aroma pemikiran ala Orba itu menggema di sebagian masjid.

Kedua, berbeda dengan logika hukuman tadi, tafsiran kedua justru beranggapan bahwa tragedi ini justru bersifat ujian, bukan hukuman. Di beberapa tempat, kita dapat menemukan selebaran yang mengatakan antara lain, bencana Aceh merupakan "ujian" Tuhan untuk mengukur keteguhan dan konsistensi rakyat Aceh dalam menjalankan syariat Islam. Hm….

Sekarang, ketika kita sedang bergulat dengan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh, muncul pula isu-isu yang menguatkan kesan bahwa Tuhan sedang menguji konsistensi dan keteguhan rakyat Aceh dalam menjalankan syariat Islam dan menjaga status Aceh sebagai Serambi Mekkah. Isu pemurtadan, kristenisasi, dan adopsi diembuskan sebagian pihak yang mungkin sedang menangguk di air keruh. Tak heran, dalam sebuah pertemuan dengan ribuan alumni Pondok Modern Gontor di Jakarta Convention Center, Jumat (7/1) lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun merasa perlu menanggapi isu-isu yang tidak bertanggung jawab itu. Secara reaktif beliau lantas menegaskan, "Pemerintah akan sekuat tenaga menjaga status Aceh sebagai Serambi Mekkah!"

DEMI mencermati diskursus tentang Tuhan dan prasangka tentang keterlibatan-Nya dalam bencana terakhir ini, Jaringan Islam Liberal berinisiatif melangsungkan diskusi soal "Tuhan Pacsa-Tsunami" yang bertempat di Freedom Institute, Selasa (11/1) lalu. Diskusi yang bertepatan dengan hari milad Ulil Abshar-Abdalla itu beranjak dan bertolak dari keprihatinan yang mendalam akan rumusan "teologi bencana alam" yang berkembang dan populer di tengah masyarakat dewasa ini.

Baik Goenawan Mohamad maupun Syamsurizal Pangabean yang bertindak sebagai pembicara dalam diskusi itu sama- sama prihatin akan rumusan teologis yang tidak sungkan- sungkan mengekspos "intervensi" Tuhan yang berlebihan dalam kiamat kecil itu. Kecenderungan seperti itu gampang sekali kita simak dari khotbah-khotbah Jumat, pengajian di majelis taklim maupun majelis zikir, atau ceramah keagamaan di sejumlah televisi.

Intinya, telah muncul rumusan teologi tentang bencana alam (tidak murni buatan manusia seperti tragedi Poso dan Maluku) yang pada akhirnya tetap terjebak di dalam dua perangkap teologis yang mengharukan: entah mengambinghitamkan korban bencana sendiri ataupun menyalahkan Tuhan yang dianggap sebagai pihak yang tak pandang ampun dan tak kenal belas kasihan menghajar hamba-hamba-Nya. Kedua kecenderungan itu rupanya juga bagian dari pandangan teologi masyarakat kita yang cenderung fatalistik.

Ketika rumusan teologis yang dikemukakan mengasumsi bahwa bencana Aceh adalah refleksi dari kemurkaan Tuhan, di situ secara eksplisit sudah terkandung nada-nada yang menyudutkan dan menyalahkan rakyat Aceh yang kini menjadi korban (blaming the victims). Sebaliknya, ketika bencana ini dianggap sebagai "ujian" Tuhan untuk umat manusia yang Dia cintai, sebagaimana yang dikatakan sejumlah kutipan kitab suci (perhatikan betapa beratnya ujian itu!), secara implisit kita juga sedang terlibat dalam proses menyalahkan Tuhan (blaming God). Kedua kecenderungan tadi tentu bukanlah rumusan teologis yang bisa dianggap elegan dan ideal tentang bencana alam.

Untuk itulah, kita diajak membuat rumusan teologis yang tidak gegabah dan potensial menambah luka dan duka rakyat Aceh sekaligus berpandangan elegan dan fair terhadap Tuhan sendiri. Itulah rumusan teologis yang sekarang sedang kita cari dan kita kehendaki.

Hanya saja, persoalannya tidaklah segampang yang kita kira. Sebagaimana dikemukakan Ulil Abshar-Abdalla dalam diskusi itu, godaan bagi agama (diwakili oleh pemuka agama ataupun juru khotbah tadi) ataupun ilmu pengetahuan untuk menjelaskan sejumlah misteri yang terkandung di dalam dunia ini teramat besar. Makanya, sejumlah misteri dan absurditas yang terkandung di dalam pelbagai peristiwa di dunia ini keduanya coba diterangkan baik oleh agama maupun ilmu pengetahuan.

Secara psikologis, manusia tidak pernah betah menjalankan hidup dengan menyisakan sejumlah misteri karena misteri adalah kegelapan. Dan, kegelapan pada hakikatnya adalah situasi yang cenderung dibenci. Untuk itu, kegelapan itu coba diterobos dan diterangi, baik dengan penjelasan ilmu pengetahuan maupun penjelasan agama atau teologi.

Tetapi, sudah nyata bahwa penjelasan ilmu pengetahuan dan penjelasan agama memang berbeda. Kita bisa memahami sebuah misteri secara lebih pasti dan dapat memverifikasinya secara ilmiah dengan perangkat dan metode yang disediakan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, penjelasan agama tak jarang justru menjelma menjadi deretan spekulasi yang tiada henti. Dan, naifnya, kita tidak pernah kunjung bisa memverifikasi sisi kebenarannya kecuali meyakini saja. Kita sesungguhnya tidak pernah bisa menanyakan kebenaran "versi Tuhan" akan bencana Aceh, apalagi mendialogkannya secara langsung.

Karenanya, para sosiolog cenderung mengatakan bahwa "kebenaran agama" tidak pernah bisa dibuktikan dan bersifat prapengalaman. Walaupun sedang berspekulasi secara liar, dia selalu saja diimani sebagai kebenaran yang hakiki, sekalipun belum dibuktikan. Di sinilah problematisnya spekulasi- spekulasi tentang Tuhan dalam tsunami kemarin.

TIDAK seorang pun yang bisa membuktikan kalau Tuhan ikut aktif mengintervensi peristiwa tsunami yang kemarin menghantam kita. Siapa yang tahu pasti kalau hal tersebut ditujukan untuk memberi "pelajaran" kepada rakyat Aceh yang ironisnya justru taat beragama? Makanya, sembari melakukan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh, kita juga dipanggil untuk mencari rumusan teologi bencana alam yang lebih mengena. Sembari itu, ada baiknya kita juga tidak terlalu lancang dan sok mengerti soal apa sebenarnya yang dimaui Tuhan dari bencana ini.

Klaim atau perasaan bahwa kita tahu tentang apa yang dimaui Tuhan dalam bencana kali ini, sekalipun bersandar pada argumen dan landasan firman-Nya, sesungguhnya merupakan bentuk kesombongan yang tiada tara.

Novriantoni Alumnus Universitas al-Azhar Mesir, Aktivis Jaringan Islam Liberal

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0501/14/opini/1499211.htm

humaniora

Pemahaman Absolut

Seekor gajah dibawa ke sekelompok orang buta yang belum pernah bertemu binatang semacam itu. Yang satu meraba kakinya dan mengatakan bahwa gajah adalah tiang raksasa yang hidup. yang lin meraba belalainya dan menyebutkan gajah sebagai ular raksasa. yang lin meraba gadingnya dan menganggap gajah adalah semacam bajak raksasa yang sangat tajam, dan seterusnya. Kemudian mereka bertengkar, masing-masing merasa pendapatnya yang paling benar, dan pendapat orang lain salah.

Tidak ada satupun pendapat mereka yang benar mutlak, dan tak ada satupun yang salah. Kebenaran mutlak, atau satu kebenaran untuk semua, tidak dapat dicapai karena gerakan konstan dari keadaan orang yang mengatakannya, kepada siapa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana hal itu diatakan. Yang ditegaskan oleh masing-masing orang buta tersebut adalah sudut pandang yang menggambarkan bentuk seekora gajah, bukan kebenaran absolut.

Setiap orang belajar melihat berbagai hal melalui pemikiran dan nalurinya masing-masing. Kehidupannya di masa lalu membantu mereka untuk menentukan pendapat mereka terhadap berbagai masalah dan obyek yang mereka temui. Karena masing-masing individu memiliki pemikiran dan naluri, maka persepsi yang ditemui merupakan kebenaran, bukan merupakan kesalahan. Hidup tidak hanya mengandung satu kebenaran untuk suatu ide atau obyek tertentu, namun kita dapat menemukan banyak kebenaran dalam persepsi seseorang. Seseorang tidak seharusnya membuktikan kebenaran bahwa satu obyek mengandung arti yang benar, namun seharusnya membangun konsepsi di sekeliling obyek.

Usaha untuk menentukan sesuatu kebenaran merupakan hal yang sulit, bahkan mustahil. Persepsi kita dalam menilai suatu realitas mungkin berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Satu hal yang mungkin benar untuk seseorang bisa jadi berbeda untuk orang lain. Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai hidup, sulit untuk menimbang kandungan kebenaran sebuah konsep.

Setiap pendapat dibentuk sebagai satu kebenaran untuk individu yang mengasumsikannya. Variasi dari berbagai konsep mungkin baik untuk dipertimbangkan kebenarannya. Disinilah orang membangun pemahaman yang lebih mendalam untuk suatu obyek. Kebenaran dapat diraih melalui konsep dan bukan melalui obyek itu sendiri. karena berbagai individu memiliki persepsi yang berbeda, mereka memiliki berbagai kebenaran untuk dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan.

Sebagai contoh, mustahil untuk mempertimbangkan, benar atau salah, memotong pohon bisa merupakan hal yang 'baik' atau 'buruk'. Seseorang mungkin memiliki konsep bahwa memotong pohon menghancurkan rumah untuk burung dan binatang-binatang lain. Yang lain beranggapan bahwa memotong pohon merupakan sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam membangun rumah. Hanya karena ada beberapa sudut pandang untuk kasus ini, tidak berarti bahwa pasti ada pernyataan yang salah. Pohon dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, kertas, sampai perahu, dan tidak ada yang salah dari pandangan ini. Pohon akan tetap berdiri sebagai pohon, tapi nilai dari pohon tersebut dapat berbeda, tergantung siapa yang menggunakannya.

Konsep tentang Tuhan atau ketiadaan Tuhan, adalah masalah lain yang sering ingin dibuktikan. Seorang filsuf terkenal, Soren Kierkegaard menyatakan, "Jika TUhan tidak ada, akan sangat mustahil untuk bisa membuktikannya; dan jika Ia memang benar-benar ada, sangatlah tolol untuk mencoba membuktikannya." Pembuktian keberadaan atau ketidakberadaan TUhan hanya menghasilkan alasan untuk percaya, bukan bukti nyata keberadaan Tuhan. Kierkegaard juga menegaskan, "... antara Tuhan dan KaryaNya terdapat relasi yang absolut: Tuhan bukanlah sebuah nama, namun sebuah konsep." (Kierkegaard, 72). Relasi antara manusi dengan Tuhan adalah sebuah konsep. Seseorang yang percaya akan TUhan, tidak dapat membuktikan keberadaanNya melalui relasi pribadinya dengan Tuhan. Kierkegaard menambahkan lagi, "Karya Tuhan adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukanNya."

Kita tidak memiliki dasar untuk membuktikan karya Tuhan. Kita juga tidak tahu karya macam apa yang dilakukan TUhan pada masing-masing individu. Namun, beberapa kelompok religius telah membuat kesalahan dengan memaksakan kepercayaannya pada individu-individu yang berbeda. Beberapa dari mereka menyatkaan bahwa kepercayaan mereka adalah satu-satunya kepercayaan yang "benar". Hal ini tidak dapat dibenarkan. Ini mungkin merupakan alasan mengapa agama atau kepercayaan menjadi faktor terbesar dalam perang-perang yang pernah terjadi. Usaha untuk mencari pengikut satu kebenaran, tidak dilakukan dengan membebaskan individu atau masyarakat untuk mengikuti hal yang mereka anggap benar, namun malah membuat orang frustasi dan bermusuhan.

Semua konsep sangatlah dinamis, kebenaran bagi seseorang yang mempercayai mungkin nampak ironis bagi dirinya. Seseorang mungkin percaya bahwa televisi mendukung kekerasan pada anak-anak, dengan mengekspos penggunaan kata-kata kotor dan kebodohan yang dilakukan. Orang lain mungkin percaya bahwa televisi merupakan alat pendidik karena mengekspos masalah-masalah tersebut dengan tujuan untuk dipahami. Meski keduanya mungkin sangat benar bagi masing-masing orang yang menyatakannya, dua masalah ini sangat kontradiktif. Ketidaksepahaman tidak membuat pernyataan yang lain salah, namun membentuk kebenaran yang lain.

Jika masing-masing orang buta menghabiskan waktu lebih banyak untuk memahami kebenaran lain yang ada dibanding membuktikan pendapatnya yang paling benar, mereka mungkin menemukan bahwa gajah adalah sebuah tiang raksasa yang hidup, ular raksasa, atau bajak yang sangat tajam pada saat yang sama, atau pada saat yang berbeda-beda. Mungkin juga mereka menyimpulkan gajah bukan salah satu dari gambaran yang telah mereka sebutkan. Opini dari orang-orang buta itu mungkin akan bergerak konstan, karena penerimaan dari berbagai sudut pandang yang saat ini ada, atau mungkin ada di masa yang akan datang. Meski gajah itu tetap sama, opini tentangnya mungkin akan berubah dan beradaptasi.

Bowie, Lee G., Michaels, Meredith W., Solomon, Robert C. Twenty 
Questions "An Introduction to Philosophy. Harcourt Brace & Company, 
3rd ed. Kierkegaard 72- 75 

humaniora

Nalar Puitis sebagai Metafilsafat

PERTENGKARAN keluarga dalam kubu humanisme terus berdengung sampai sekarang. Pertengkaran antara kubu pembela nalar di satu sisi dan kubu pembela naluri di sisi lain. Antara yang Cartesian dan yang Nietzschean. Para Cartesian menuduh pembela naluri merendahkan manusia. "Cogito ergo sum!" jerit mereka. Kodrat manusia terpusat pada nalar, bukan nalurinya. Naluri dilempar dari kemanusiaan karena mempersandingkan manusia dengan hewan. Bersembunyi di balik Cogito, manusia berada di puncak hierarki gradasi wujud.

Nalar mengandaikan semesta yang hadir dan bisa dimengerti. Bersembunyi di baliknya adalah iman akan ketersambungan antara pikiran dan kenyataan. Naluri, di lain pihak, memiliki modus berpikirnya sendiri. Dengannya, manusia melampaui yang hewani dan manusiawi sekaligus. Naluri untuk penguasaan Nietzsche, misalnya, mengenyahkan logos yang membentang di luar, namun diam-diam menariknya ke dalam.

Dua tradisi yang berseteru seolah-olah berdiri berseberangan. Namun, sesungguhnya mereka berbagi iman yang sama secara epistemo-ontologis. Semesta ini asing. Dan, transenden ini hanya bisa disingkap apabila ontologi manusia ditelanjangi bulat-bulat. Descartes mengerti manusia sebagai substansi yang berpikir, sedangkan Nietzsche memahami manusia sebagai naluri untuk penguasaan. Bertolak dari itulah semesta ditarik dari persembunyiannya. Kodrat manusia adalah kunci utama pembuka pintu rahasia semesta raya.

Apabila yang transenden menjadi titik tolak tradisi teori pengetahuan dalam filsafat, tidak demikian halnya dengan puisi. Bagi puisi, kenyataan selalu sudah menampilkan dirinya dalam bahasa. Kenyataan adalah semata-mata soal modus pengucapan. Maka, tinimbang mencari ketelanjangan sebuah rahasia, puisi mengerahkan tenaganya untuk menelusuri modus pengucapan baru. Alternatif yang dikejar adalah modus pengucapan representasional bahasa sains dan filsafat, sebuah modus pengucapan yang mengandaikan keterwakilan semiotis realitas dalam bahasa.

Puisi tidak melentingkan kita ke tanah tak berjejak. Ia tak berpeluh-peluh mengejar kebenaran sejati. Ia tidak melakukan penyingkapan apa pun. Yang ia kejar semata-mata kosakata baru realitas. Muara perbincangan ini adalah filsafat yang membujur kaku. Refleksi atas puisi adalah akhir hayat filsafat. Para filsuf terkaget-kaget saat mendapati bangkai epistemologis yang disisakan puisi, seperti saat Nietzsche menemukan "yang tak berasal" setelah merefleksikan puisi-puisi klasik Yunani. Atau Heidegger yang menghentikan proyek ontologi fundamentalnya setelah membaca puisi-puisi Holderlin. Pembelokan sastra, literary turn, sedang menggayuti jagat pemikiran kontemporer. Nalar yang notabene merupakan peranti rohani utama filsafat dalam membuka segel epistemologis sedang mencapai titik nadirnya. Saya membaca gejala ini sebagai gejala metamorfosis nalar menuju bentuknya yang puitis.

Metafilsafat

Collin McGinn, salah satu filsuf Amerika kontemporer, melontarkan gagasan tentang apa yang disebutnya sebagai metafilsafat. Sebuah penyelidikan filosofis tentang apa sesungguhnya kodrat dari persoalan filsafat, kemungkinan pengetahuan filosofis dan metode yang diadopsi demi kemajuan filsafat. Sebuah filsafat tentang filsafat. Menurut McGinn, ada dua tradisi besar metafilsafat yang saling bertolak belakang. Pertama adalah tradisi Platonian. Tradisi ini berkeras bahwa persoalan filsafat adalah persoalan esoteris. Filsafat adalah disiplin yang memacu nalar manusia menggapai "yang esoteris". Tradisi kedua adalah Wittgensteinian. Bertolak belakang dengan Plato, Wittgenstein menolak apa yang disebut sebagai persoalan esoteris filsafat. Persoalan filsafat sesungguhnya adalah persoalan bahasa. Pertanyaan filosofis menjadi semu dan tak bermakna akibat penyalahgunaan bahasa. Dengan kata lain, persoalan filsafat sesungguhnya adalah soal penyembuhan bahasa.

Tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair ("Bentara", Kompas, 2 Mei 2003), berusaha mendamaikan dua tradisi metafilsafat tersebut dengan mengajukan hipotesis nalar puitis. Nalar puitis tidak berkonsentrasi pada persoalan yang absolut-esoteris, namun tidak juga mengalah pada jerat kebahasaan belaka. Nalar puitis adalah nalar yang selalu peka terhadap yang transenden berdasarkan postulatnya akan kodrat semiotis kenyataan. Selalu ada yang bergentayangan di luar modus pengucapan yang dominan. Itulah yang dikejar oleh nalar puitis. Oleh karena itu, modus bernalar biasa harus ditinggalkan. Modus bernalar yang mencari kodrat harus digeser oleh modus bernalar yang mencari modus pengucapan baru. Konsentrasinya bukan pada jawaban positif, tetapi pada pertanyaan-pertanyaan asali guna menemukan modus pengucapan baru.

Heidegger meletakkan fondasi awal bagi metafilsafat nalar puitis. Bernalar bagi Heidegger adalah keunggulan filsafat. Karenanya, filsafat harus memiliki modus bernalar yang melebihi ilmu-ilmu positif, yakni modus yang tidak berkonsentrasi pada jawaban positif melainkan, seperti diisyaratkan Russel, melulu prihatin pada pelebaran ruang imajinasi nalar kita sendiri. Pelebaran yang sesekali harus melontarkan pertanyaan pada pertanyaan filosofis itu sendiri. Ini yang dilakukan Heidegger saat mengajukan pertanyaan terhadap seluruh pertanyaan filsafat, mulai dari Yunani klasik sampai modern. Bagi Heidegger, semua pertanyaan itu harus dipertanyakan ulang karena tidak bertanya tentang Ada yang sesungguhnya, yaitu Ada yang menopang segala adaan. Para filsuf terlalu asyik bertanya sehingga melupakan perbedaan kentara antara Ada dan ada.

Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang berlontaran dalam sejarah tak mampu menampung transendensi sang Ada. Kelumpuhan ini, menurut Heidegger, disebabkan oleh filsafat yang masih berkutat dengan nalar epistemologis, nalar yang mengejar keakuratan representasi antara benak dan kenyataan, nalar yang mewakili bukan menyingkap. Sejarah filsafat adalah sejarah nalar epistemologis. Mulai dari filsuf Milesian yang coba menalar kodrat semesta sesungguhnya, sampai Descartes yang menelanjangi kodrat kognitif manusia sebagai dasar pengetahuannya tentang dunia. Bahkan, Nietzsche yang dituduh pelbagai pihak antinalar sesungguhnya masih terjebak dalam sejarah nalar epistemologis saat menelanjangi kodrat manusia sebagai naluri untuk penguasaan.

Saat nalar kehilangan kepekaannya pada yang transenden, kidung bait-bait puisi dalam tubuhnya pun lamat-lamat menghilang. Kondisi ini diperparah lewat lahirnya sains pada abad ke-17 sebagai wujud sempurna filsafat alam. Sains membekukan geliat nalar pada pandangan dunia mekanisme yang telah menghilangkan dunia dari kemisteriusan. Pengeringan dunia dari yang asing ini membuat nalar kehilangan kemampuannya membawa kita ke tanah tak berjejak. Nalar pun sekadar kalkulasi, bukan eksplorasi. Ini yang dimaksud Heidegger saat mengejek fisika sebagai semata-mata kalkulasi, bukan pemikiran.

Kematian nalar puitis adalah saat nalar terjebak pada fungsi metodologisnya. Nalar yang melulu bersibuk dengan langkah-langkah menemukan kebenaran, bukan menciptakan. Metode dalam menentukan yang benar maupun yang baik. Padahal, seperti dikemukakan Whitehead, spekulasi nalar tidak terjerat oleh metode. Ia mentransendenkan semua metode. Nalar adalah naluri dasar manusia yang senantiasa merindu pada yang tak terbatas. Ini yang membuat sebuah kemajuan dimungkinkan.

Naluri kerinduan nalar pada yang transenden redup saat nalar difungsikan semata-mata secara komunitarian. Saat nalar terkurung oleh kategori-kategori kultural, jelajah nalar puitis pun mandek secara historis. Ia menjadi ansilla historica, hamba sejarah. Sebuah kesia-siaan yang tak perlu. Kesia-siaan yang dituduhkan para pembela nalar kepada para neosofis yang antikebenaran tunggal. Nalar identik dengan universalisme, kata mereka. Pertanyaannya kemudian adalah apakah pilihan antara relativisme dan universalisme adalah sebuah pilihan dikotomis.

Saya menyodorkan hipotesis nalar puitis sebagai muara metamorfosis nalar manusia setelah pengejaran terhadap yang transenden dihentikan. Hipotesis yang ternyata banyak mendapat reaksi keras pelbagai pihak. Sebagian menafsirkannya sebagai maklumat hukuman mati bagi nalar. Tuduhan yang berpijak pada sangkaan pengulangan gagasan aleitheia Heidegger dalam hipotesis saya. Tuduhan-tuduhan itu cukup berdasar. Hanya serangan terakhir yang terdengar menggelikan. Saya dituduh memutlakkan jalan puisi. Sungguhkah demikian?

Jelas tergurat bahwa nalar puitis bukan puisi. Puisi bagi saya sekadar metafora bagi kemampuan nalar membuka modus-modus pengucapan baru tentang jagat raya. Kemampuan yang lenyap saat ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi mengejar kebenaran bukan kelainan. Pengejaran yang sadar atau tidak disadari menggendong sebuah pandangan dunia tertentu. Fisika, misalnya, dicela Heidegger sebagai semata-mata kalkulasi bukan pemikiran. Mengapa? Karena fisika tak bisa melepaskan diri dari pandangan dunia mekanistik. Ia hanya berfokus menghitung-hitung gerak-gerik semesta tanpa menghasilkan sebuah modus pengucapan alternatif.

Nalar puitis juga bukan sekadar keisengan yang antinalar. Nalar puitis adalah nalar yang selalu terjaga pada "kelainan". "Kelainan" berbeda dengan yang transenden. Transendensi adalah modus epistemologis, sementara "kelainan" adalah modus puitis. Di mana letak perbedaannya? Modus epistemologis bekerja dengan kategori benar-salah. Tanah berjejak yang ditinggalkan adalah sesuatu yang kadar epistemologisnya lebih rendah ketimbang dataran kognitif baru yang dituju. Sementara "kelainan", sebaliknya, tidak berurusan dengan kategori benar-salah. Ia semata-mata sebuah kemungkinan baru dalam berbincang-bincang tentang semesta. Semesta selalu sudah menampilkan dirinya secara kebahasaan. Yang dikejar oleh nalar puitis, bukan kebenaran baru, melainkan sebuah kosakata baru tanpa klaim epistemologis apa pun.

Selanjutnya, apakah nalar puitis sekadar pengulangan hipotesa "aleitheia" Martin Heidegger? Saat Heidegger menjelaskan panjang lebar tentang bahasa sebagai rumah Ada, ia sesungguhnya sudah bersentuhan dengan apa yang saya maksud. Namun, ketika itu semua diletakkan dalam proyek pencarian Ada, maka ia terjebak dalam epistemologi. Berpikir seharusnya bukan mencari Ada, melainkan membangun rumah-rumah Ada yang baru. Aroma epistemologis semakin jelas tercium saat Heidegger berbicara tentang Dasein otentik yang mengambil jarak dari "ke-mereka-an" (Dasman). Pengambilan jarak Dasein, yakni being in the world, adalah sebuah momen kebenaran setelah ia tenggelam dalam kepalsuan publik. Ini semua menjadi kesulitan pokok Heidegger dari kacamata nalar puitis.

Matinya epistemologi

Kapan manusia berhenti bertanya? Nalar puitis berhenti bersuara saat pertanyaan menjelma pengalaman yang pada gilirannya menukik pada pengetahuan. Sejarah adalah hasil sedimentasi pengetahuan yang bercikal bakal pada lontaran pertanyaan nalar puitis. Sedimentasi yang menebal itulah yang membuat kita tidak lagi bertanya. Kalaupun bertanya, maka pertanyaan itu sekadar pertanyaan komunitaris. Pertanyaan yang sudah diarahkan jawabannya oleh kesepakatan epistemik satu komunitas. Ia tak bisa menembus belenggu epistemologi yang dirajutnya sendiri. Kita sedang hidup di masa yang melupakan apakah.

Benarkah demikian? Nietzsche dalam bukunya, Beyond Good and Evil, mempersoalkan klaim universalitas yang baik dan yang jahat. Yang baik dan yang jahat, menurut Nietzsche, adalah bentukan sejarah orang-orang yang kalah secara moral. Ia adalah sebentuk fiksi etis-komunitarian yang diuniversalkan. Persoalan ini sepintas persoalan aksiologis (nilai). Namun, sesungguhnya ia adalah persoalan epistemologis (pengetahuan). Bahwa pengetahuan kita tentang yang baik dan yang buruk adalah buatan tangan sejarah. Konsekuensinya adalah itu bukan pilihan satu-satunya. Kita bisa merajut fiksi baru untuk mendongkelnya.

Berakar dari proyek-proyek genealoginya, Nietzsche pun dituduh sebagai pendaur ulang klaim-klaim relativisme kaum sofis, gagasan yang mendapatkan pembenaran dari hampir semua komentatornya. Saya sendiri akan bertanya, apakah Nietzsche sedang mempraktikkan nalar komunitaris yang tak berpuisi? Atau, sungguhkah Nietzsche bisa dijebloskan masuk pada barisan antitransenden? Padahal, kalau membuka halaman demi halaman buku-bukunya, kita menemukan jarum-jarum aforisme yang tajam menghunjam indra. Buku-bukunya adalah puisi panjang tentang kealpaan yang disahkan sejarah.

Nietzsche, sebaliknya, justru menjalankan nalar puitis guna mencari gramatika epistemologi moral baru. Nietzsche membebaskan moral dari ikatan nalar konvensional. Ikatan yang membuat moral seolah-olah bersimpuh pada satu metode. Pengetahuan moral yang sudah tersedimentasi sejak lama itulah yang kemudian diruntuhkan Nietzsche. Ketika orang sudah tak lagi bertanya tentang legitimasi sebuah pengetahuan moral, Nietzsche dengan lincah memainkan nalar puitis menembus yang benar dan salah. Menjejakkan kaki kognitif di tanah tak berjejak. Melampaui relativisme. Itulah pagelaran nalar puitis yang dipertontonkan Nietzsche. Nalar puitis Nietzsche jauh melompati sedimentasi sejarah. Bergerak liar mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Dan, semuanya itu hanya mungkin karena dorongan naluri akan yang lain.

Naluri akan yang lain. Suara purba itu sirna oleh tumpukan pengalaman yang menyejarah. Tumpukan yang berakar dari kecemasan akan ribuan tanda tanya yang menyelimuti semesta. Ribuan tanda tanya yang harus dipastikan supaya manusia hidup tanpa kejutan dan entakkan. Semua tanda tanya harus dipastikan. Kalau tidak, manusia hidup dalam api kekalutan yang tak kunjung padam. Kondisi yang tentu saja tak mengenakkan. Manusia lebih suka hidup dalam-menyitir Giddens-kesadaran praktis. Kesadaran bertindak dalam mana manusia tak harus berpikir keras untuknya. Sebuah kesadaran dalam lingkup komunitarian yang pekat.

Semua tanda tanya harus dipastikan. Satu saja lolos, tertib kosmis akan mengalami gangguan. Alam yang ternalar sempurna tidak boleh menyisakan ganjalan epistemologis yang mengganggu. Manusia butuh kepastian. Seperti jejaka yang menunggu jawaban pinangannya dari sang dara. Keliaran nalar pun harus dihentikan. Nalar harus bekerja tertib karena alam pun sesuatu yang tertib. Tertib alam harus terpantul sempurna dalam kinerja nalar. Yang nyata adalah rasional dan yang rasional adalah nyata, menurut Hegel. Alam bekerja berdasarkan satu gramatika. Dan, gramatika itu hanya bisa disibak oleh nalar yang patuh.

Jatuhnya nalar pada kesatuan gramatika membuat naluri akan yang lain lumpuh. Keberanian nalar dalam menjelajah pelbagai kemungkinan pengucapan pun dilibas oleh kecemasan epistemologis yang berlebihan. Padahal, justru relativisme lahir dari rahim kecemasan sedemikian. Kecemasan untuk mengarungi ruang hampa di luar lingkungan komunitarisnya, yaitu lingkungan yang memberlakukan satu aturan bagi kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Karl Raimund Popper, filsuf sains termasyhur, menolak bentuk komunitarianisme macam itu. Ia menyerang relativisme paradigma yang digagas rekannya, Thomas Kuhn. Bagi Popper, Kuhn menjebak nalar pada kubah-kubah komunitas ilmiah yang memacetkan daya transendensinya. Daya transendensi nalar, menurut Popper, adalah saat nalar induksi digantikan oleh nalar falsifikasi. Ia mencibir metode induksi yang dibakukan positivisme sebagai pembeda sains dan nirsains. Pengumpulan fakta-fakta guna membenarkan sebuah teori cacat dari kacamata logika. Sebuah teori secara logika dapat diruntuhkan hanya dengan satu fakta yang bertolak belakang.

Lahirlah nalar falsifikasi menggeser segala dogma, ideologi, atau ilusi karena ia terbuka bagi falsifikasi. Nalar falsifikasi membuat kita tidak lagi bicara kepastian, melainkan kehampiran. Kebenaran tidak bisa dipastikan. Ia hanya bisa dihampiri lewat uji falsifikasi terus-menerus. Teori yang paling tahan uji adalah teori yang paling dekat menghampiri kebenaran.

Puitiskah nalar falsifikasi Popper? Sungguh tak dapat dimungkiri. Berkat falsifikasi, sains pun terlepas dari jerat konservatisme dan bergandengan erat dengan kemajuan. Namun, kemajuan yang dihasilkan bersifat linier dan monistik. Kelincahan nalar seperti yang dipertontonkan Nietzsche tidak tampak. Kesatuan gramatika pengujian kebenaran masih menggayuti nalar falsifikasi Popper. Pandangan dunia sains pun masih mengeram pada lantai paling bawah pemikirannya. Paul Feyerabend, seorang anti-Popperian, menggugat linieritas nalar falsifikasi Popper. Baginya, mengapa tak kita biarkan nalar bekerja dalam gramatikanya sendiri-sendiri. Kesatuan metode harus memberi jalan pada pluralisme. Ia mengajak kita untuk sadar bahwa nalar adalah majemuk. Ia tidak tunggal, namun seperti digagas Wittgenstein, harus dikembalikan pada permainan bahasa masing-masing komunitas.

Kelompok penolak universalisme nalar berpegangan pada premis bahwa pengetahuan adalah konstruksi budaya. Budaya adalah sesuatu yang berdiri diametral dengan pengetahuan. Pengetahuan berpegang pada obyektivitas, universalitas, dan ketetapan. Budaya, sebaliknya, sesuatu yang bergerak dan bercabang ke sana-sini seiring alun sejarah. Mengatakan pengetahuan sebagai produk budaya sama artinya dengan mengatakan bahwa pengetahuan tidak seabsolut yang dikira orang. Ia berubah dan bercabang bersama sejarah.

Pergeseran dari obyektivitas menjadi komunalitas memperoleh tantangan politis. Bagaimana kemajemukan nalar bisa dipertanggungjawabkan dari kacamata politik? Atau dengan kata lain, bagaimana sebuah hidup bersama yang baik itu mungkin? Richard Rorty, Jurgen Habermas, dan John Rawls adalah sebagian dari mereka yang menggulati masalah ini. Mereka tidak peduli dengan gramatika nalar masing-masing komunitas. Mereka memikirkan bagaimana sebuah gramatika nalar percakapan yang bisa membuat pelbagai kelompok memiliki kesatuan konsepsi tentang hidup bersama.

Nalar percakapan sendiri adalah nalar yang tidak berpihak. Ia adalah prosedur bagi masing-masing nalar komunitarian dalam memutuskan sebuah konsensus. Ia tidak berurusan dengan isi gramatika kultural itu sendiri, melainkan prosedur yang sehat percakapan antargramatika. Apakah ini potret nalar puitis? Dari sisi ketidakterjebakannya pada gramatika, kelompok nalar percakapan memang terdengar puitis. Namun, ketidakpeduliannya pada isi gramatika kultural itu sendiri menyimpan masalah. Nalar percakapan hanya mengamini kemajemukan gramatika tanpa memeriksa sedimentasi pengalaman yang menua dalam masing-masing gramatika. Seolah-olah masing-masing gramatika diterima apa adanya.

Ini membuat agresivitas nalar puitis pun mandek. Nalar hanya diaksentuasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip yang bisa diterima sebanyak mungkin kelompok. Namun, tidak ditatapkan pada gramatika kelompok itu sendiri. Tidak digerakkan secara lincah mencari gramatika-gramatika pengucapan baru untuk membuka lapisan-lapisan yang tersembunyi dalam sedimentasi pengalaman tersebut. Tuduhan monisme pun akhirnya bisa dijatuhkan kepada para pembela nalar percakapan. Sesuatu yang sebenarnya ingin dijauhkan mereka dari sistem-sistem pemikiran kontemporer.

Kemandekan upaya eksplorasi puitis nalar membuat sejarah menang telak atas pertanyaan. Apa mendominasi apakah. Sebuah potret semesta yang digambarkan Heidegger sebagai perlahan-lahan dilanda kegelapan. Ribuan tanda tanya pun terselimuti jawaban. Yang asing hanya dihadirkan sebagai obat kecemasan. Saat manusia berhadapan dengan teka-teki yang tak terpecahkan, yang transenden didatangkan sebagai juru selamat. Tuhan bekerja secara misterius, habis perkara.

Yang transenden lalu dituduh sebagai ruang hampa kognisi. Setelah nalar berhenti, intuisi bekerja meneruskan perjalanan spiritual menuju yang asing. Yang transenden hanya bisa dikenali lewat absennya nalar dan menguatnya hati. Nalar manusia terbatas. Begitu cibir para mistikus. Namun, nalar puitis tak mengenal horizon seperti itu. Naluri kerinduan pada yang tak terbatas membuatnya senantiasa lincah bekerja mencari gramatika-gramatika baru. Pencarian yang menyeret yang transenden ke dalam terang pengetahuan. Melampaui yang benar dan yang salah menurut sejarah. Menggeser relativisme, sekaligus senantiasa penuh selidik terhadap universalisme-absolutisme.

Hening

Tak satu pun lentera menyala saat aku membaca/ selintas suara bergumam, "segala sesuatu jatuh ke dalam kebekuan yang mencekam"/ bahkan melon atau pir dari taman tak berdaun. Sebait puisi karya penyair Wallace Stevens itu mengingatkan kita untuk selalu eling lan waspodo, ingat dan sadar, pada segurat keheningan yang senantiasa membayangi cakrawala pengetahuan. Segurat keheningan yang senantiasa membujuk kita memainkan nalar secara puitis.

Pada masa yang mulai melupakan apakah ini, ingat dan sadar akan "yang hening" dan "yang lain" sungguh menjanjikan sejumput cahaya. Cahaya yang telah lama redup dalam sepak terjang sains, teologi, dan filsafat. Nalar yang digunakan tak lagi mencukupi untuk membuat puisi baru. Yang berlaku semata-mata daur ulang gramatika ilmiah, teologis, atau filosofis yang mulai menua dan membosankan. Saatnya bagi sains, teologi, dan filsafat untuk berhening sejenak. Melepaskan diri dari keramaian jawaban dan mulai belajar mengajukan pertanyaan. Singkat kata, belajar merangkul kembali "kelainan" yang hilang.

Keheningan dan kelainan berbeda dengan kesepian. Kita hidup dalam semesta yang menyimpan seribu gramatika pembuka rahasia. Nalar yang sadar akan multiplisitas ini tak akan berhenti pada satu sedimentasi sejarah. Melainkan, senantiasa bergulat mencari kunci-kunci pembuka tanah tak berjejak yang tertimbun sejarah. Para sahabat yang melontarkan kritik pada tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair, sungguh tahu bagaimana memainkan nalar secara puitis. Mereka membuka dimensi-dimensi yang saya sendiri tak menyadarinya sebelum ini. Mereka membaca sebuah gramatika baru dalam embrio pemikiran. Pembacaan yang membuat saya kembali berkhidmat pada "yang lain" dan "yang hening".

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI, Puisi-puisinya dibukukan dalam Menulis Sajak Itu Indah (1998)

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/05/Bentara/998332.htm

artikel filsafat 4

afat
Spiritualitas "New Age"

SALAH satu trend ekspresif zaman post modern adalah ditandainya pergolakan sosial yang cepat. Namun, kita tak sekadar bersaksi atas progresivitas pergolakan sosial, kecanggihan teknologi post industri abad ini. Di sisi lain, kita dihadapkan seribu krisis kemanusiaan: mulai dari krisis diri, alienasi, depresi, stres, keretakan institusi keluarga, sampai beragam penyakit psikologis lainnya. Justru, jenis penyakit yang mengguncang diri kita di tengah situasi krisis dewasa ini, tak lain adalah hadirnya perasaan ketidaknyamanan psikologis. Ada semacam ketakutan eksistensial yang mengancam diri kita di tengah situasi krisis, sarat teror, konflik, dan kekerasan, sampai pembunuhan yang menghiasi keseharian hidup kita.

Di Barat, khususnya Amerika Utara, situasi krisis serupa, justru diiringi meningkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion). Barangkali, ekstrimnya seperti dislogankan futurolog John Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000, Spirituality Yes, Organized Religion No!.

Ada penolakan terhadap agama formal yang memiliki gejala umumnya sama saja: eksklusif dan dogmatis, sambil menengok ke arah spiritualitas baru lintas agama, yang menurut Majalah Newsweek (28 November 1994), jumlahnya fantastis: 58 persen responden dalam suatu survei, menunjukkan kegairahannya pada kebutuhan spiritualitas baru.

Inilah model generasi baru yang gandrung pada Spiritualitas New Age. Russel Chandler, mantan jurnalis agama pada Los Angeles Times, mengklaim, 40 persen orang Amerika percaya pada panteisme (kepercayaan yang berprinsip pada all is God and God is all), 36 persen percaya pada astrologi sebagai scientific, tepatnya percaya pada astrologi sebagai metode peramalan masa depan (a method of foretelling the future), dan 25 persen percaya pada reinkarnasi (lih. Chadler, Understanding the New Age, 1988, hlm 20, 130-33).

Nah, fenomena keagamaan inilah yang menarik dipotret. Apa itu gerakan New Age berikut ciri khasnya? Bagaimana model praktik spiritual New Age di tengah eksistensi agama-agama besar selama ini? Benarkah spiritualitas New Age tampil sebagai alternatif keberagaman dewasa ini?

Gerakan "New Age"

Secara literal, New Age Movement adalah gerakan zaman baru, yang oleh Rederic dan Mery Ann Brussat disebut sebagai "zaman kemelekan spiritual". Ada semacam arus besar kebangkitan spiritual yang melanda generasi baru dewasa ini, terutama di Amerika, Inggris, Jerman, Italia, Selandia Baru, dan seterusnya. Ekspresinya beragam; mulai dari cult, sect, New Thought, New Religious Movement, Human Potentials Movement, The Holistic Health Movement, sampai New Age Movement. Namun, benang merahnya hampir sama: memenuhi hasrat spiritual yang mendamaikan hati.

Hasrat spiritual inilah yang menjadi ciri khas New Agers (istilah New Agers ini relatif lebih lazim dipakai dalam konteks gerakan New Age, dibanding misalnya istilah New Age Adherents maupun New Age Believers). Sebagai a new revivalist religious impulse directed toward the esoteric/metaphysical/spiritualism..., hasrat spiritual New Agers yang secara praktis adalah a free-flowing spiritual movement, terartikulasi ke berbagai manuskrip metafisika-spiritualitas (Manuskrip Celestine, baik The Celestine Prophecy maupun The Celestine Vision, Sophia Perennis yang menjadi filsafatnya New Agers, paradigma The Tao of... yang sangat ekspresif menjadi trend penerbitan judul buku-buku ilmiah dan populer, The Aquarian Conspiracy yang menjadi buku pegangan New Agers, hingga merambah ke "pendidikan spiritual" dan bahkan klinik-klinik spiritual dengan beragam variasinya.

Sebagaimana disinggung sepintas oleh Naisbitt dalam Megatrend 2000, In turbulent times, in times of great change, people head for the two extremes: fundamentalism and personal, spiritual experience... With no membership lists of even a coherent philosophy or dogma, it is difficult to define or measure the unorganized New Age movement. But in every major U.S. and European city, thousands who seek insight and personal growth cluster around a metaphysical bookstore, a spiritual teacher, or and education center.

Oleh karena itu, seperti sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan adalah adanya gerakan masif dari generasi New Age yang selalu menyebut-nyebut dirinya sebagai flower generations, berkiblat pada mainstream spiritualitas, mulai dari kegemaran menyelami Manuskrip Celestine sampai mengalami apa yang menjadi tradisi spiritual New Agers sebagai spiritual gathering dengan berbagai variasi mistik-spiritualnya.

Gerakan yang dimulai di Inggris tahun 1960-an ini, antara lain dipelopori Light Groups, Findhorm Community, Wrekin Trust. Ia menjadi sangat cepat mendunia berskala internasional, terutama setelah diselenggarakan seminar New Age oleh Association for Research and Enlightenment di Amerika Utara, dan diterbitkannya East West Journal tahun 1971 yang dikenal luas sebagai jurnalnya New Agers. Yang agak sensasional dari gerakan New Age ini adalah setelah disiarkan via televisi secara miniseri Shirley MacLaine Out on a Limb, bulan Januari 1987.

Spiritualitas "New Agers"

Ekspansi New Age menjadi populer dan fenomenal pada dasawarsa 1970-an sebagai protes keras atas kegagalan proyek Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan.

Pertama, di lingkungan gereja Kristen, misalnya, kita sulit menghapus ingatan masa lalu saat Gereja menerapkan doktrin extra ecclesiam nulla salus. No salvation outside the Church. Tidak ada keselamatan di luar Gereja. Bukankah ini cermin watak Gereja yang sarat claim of salvation? Bukankah claim of salvation tidak saja mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi juga berimplikasi serius terhadap konflik atas nama agama dan Tuhan. Karena itu, "keselamatan" itu tidaklah penting di kalangan New Age. Sebab, New Agers lebih percaya prinsip Enlightenment, di mana muncul kesadaran spiritualitas di kalangan New Age bahwa manusia dapat tercerahkan, menjadi sacred self, karena pada kenyataannya manusia adalah divine secara intrinsik (persis konsep fithrah dalam Islam). Paham inilah yang akhirnya menjadikan "pantheisme" begitu fenomenal di kalangan New Age.

Kedua, protes New Agers atas hilangnya kesadaran etis untuk menatap masa depan. Oleh karena itu, salah satu manuskrip terpenting yang menjadi wawasan etis New Agers dalam menatap masa depan adalah The Art of Happiness, New Ethic for the Milllenium karya Dalai Lama. Sebagai alternatif dari protesnya terhadap kegagalan gereja Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan, maka New Agers menoleh pada spiritualitas baru lintas agama. Kita tahu, betapa New Agers begitu kuat berpegang pada prinsip spirituality: the heart of religion.

Oleh karena itu, New Agers sangat menghayati betul arti pentingnya monisme (segala sesuatu yang ada, merupakan derivasi dari sumber tunggal, divine energy), pantheisme (all is God and God is all, menekankan kesucian individu, dan karenanya proses pencarian Tuhan tidaklah melalui Teks Suci, tetapi justru melalui diri sendiri, karena God within our self), reinkarnasi (setelah kematian, manusia terlahirkan kembali, dan hidup dalam alam kehidupan lain sebagai manusia. Mirip konsep transmigration of the soul dalam Hindu), dan seterusnya, seperti astrologi, channeling, pantheisme, tradisi Hinduisme, tradisi Gnostis, Neo-Paganisme, theosopi, karma, crystal, meditasi, dan seterusnya.

Tradisi spiritual New Agers lintas agama ini, tidak saja dapat mengobati kegersangan spiritual yang sekian lama hampa dari lingkungan agama formal, tetapi juga memberi muara kepada New Ages ke arah terwujudnya Universal Religion. Agama Universal, di mana ada proses awal kesadaran akan all is God and God is all yang menjadi sandaran doktrin Pantheisme, tetapi kemudian bergeser ke arah kesadaran spiritualitas New Age yang meyakini bahwa "hanya ada Satu Realitas yang eksis". Semua agama, begitu keyakinan New Agers, hanyalah sekadar jalan-jalan menuju kepada Satu Realitas yang menjadi ultimate reality dari semua pejalan spiritual (agama-agama).

* Sukidi, Alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat.

Sumber: http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0006/30/opini/spir04.htm

artikel filsafat 3

Spiritualitas Perkotaan

ABAD ke-21 menandai fenomena menarik dalam kehidupan masyarakat kota di Indonesia, yaitu munculnya minat lebih tinggi dari biasanya terhadap jalan spiritual (the spiritual path). Sampai dikatakan, abad ini merupakan abad spiritual. Tampaknya jalan spiritual telah menjadi pilihan ketika manusia modern membutuhkan jawaban-jawaban esensial atas eksistensi dirinya dalam hidup di tengah dinamika perkotaan.

MENGAPA kecenderungan ini terjadi bisa ditelusuri secara historis dan psikologis pada budaya Indonesia secara umum. Namun, pada dasarnya, fenomena yang belakangan ini marak berakar pada gejolak masyarakat perkotaan di Indonesia sebagai akibat krisis berkepanjangan yang menimpa negeri ini. Juga dekadensi moralitas yang memengaruhi gaya hidup orang kota.

SPIRITUALITAS adalah bidang penghayatan batiniah kepada Tuhan melalui laku-laku tertentu yang sebenarnya terdapat pada setiap agama. Namun, tidak semua penganut agama menekuninya. Bahkan beberapa agama memperlakukan aktivitas pemberdayaan spiritual sebagai praktik yang tertutup, khawatir dicap "klenik".

Lokus spiritualitas adalah diri manusia. Bila wilayah psikologi mengkaji jiwa sebagai psyche (dalam terminologi spiritual lebih dikenal sebagai ego), spiritualitas menyentuh jiwa sebagai spirit. Budaya Barat menyebutnya inner self (diri pribadi), sesuatu yang "diisikan" Tuhan pada saat manusia diciptakan. Meski diyakini bahwa agama berasal dari Tuhan, namun spiritualitas adalah area manusia. Spiritualitas adalah sikap yang meyakini adanya kehadiran dan campur tangan Tuhan dalam diri manusia, meski tidak mesti demikian.

Sering menjadi pertanyaan, mengapa pemberdayaan spiritualitas yang sering dicap klenik dapat mudah dilakukan pada masa perkembangan Islam di Indonesia. Simuh dalam Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (2002), menjelaskan bahwa kemungkinan itu dapat terjadi karena Islam yang masuk ke Indonesia bukanlah Islam azali, yang berasal langsung dari jazirah Arab, melainkan dibawa oleh pedagang Persia dan Gujarat. Dan Persia, khususnya, adalah sentra perkembangan tradisi tasawuf.

Tasawuf sendiri terbagi menjadi dua: Tasawuf Islam yang mementingkan sikap hidup yang tekun beribadah serta mengacu kepada Al Quran dan Hadis dan Tasawuf Murni atau Mistikisme yang menekankan pada pengetahuan hakikat Tuhan.

Berakhirnya era tasawuf Islam pada tahun 728 M memperkuat dugaan bahwa aliran tasawuf yang masuk pada awal perkembangan Islam di Indonesia bersifat mistikisme. Mengacu pada pengertian "miskisme" sebagai suatu ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan akan hakikat dan tentang Tuhan dapat diperoleh melalui meditasi atau penyadaran spiritual tanpa melibatkan panca indera dan akal pikir, dapat dimengerti mengapa Islam di Indonesia mampu berkompromi dengan budaya Hindu-Buddha, dan segera berkonsekuensi pada pergerakan mistikisme Jawa atau Kejawen.

Mistikisme subur di masyarakat pedesaan karena pada masa kolonial Hindia Belanda aliran-aliran ini menampilkan figur simbolis Imam Mahdi yang berhasil menyokong semangat rakyat menentang penjajahan. Karena itu, mistikisme lantas dianggap aliran kepercayaan marginal, yang tidak mampu menyokong aspirasi masyarakat perkotaan yang umumnya terpelajar serta lebih rasional.

Baru pada tahun 1920-an hingga 1930-an aliran mistikisme mendapat tempat di hati masyarakat pribumi yang tertekan sebagai akibat depresi besar yang tengah melanda dunia pada saat itu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari suatu masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan akibat krisis ekonomi. Sementara itu, agama dirasakan tidak mampu membangkitkan kesadaran spiritual masyarakat, yang terutama disebabkan oleh penentangan kaum Muslim azali yang mengedepankan ketaatan lahiriah dan rasional dengan nilai-nilai "pahala-dosa" dan "surga-neraka". Bersamaan dengan itu, bermunculan figur-figur yang mengaku mendapat wahyu dari Tuhan untuk membersihkan dosa-dosa umat menghadapi kiamat-isu yang meluas menyusul kondisi dunia yang kacau-balau diterpa depresi besar.

TERDAPAT dua landasan analisis di balik munculnya tren spiritualitas perkotaan belakangan ini. Pertama, dari sudut pandang psikologi sosial, kebutuhan akan jalan spiritual merupakan konsekuensi penderitaan psikis masyarakat yang tertekan oleh krisis ekonomi. Kedua, dari sudut pandang anti-religious intellectualism yang menganggap tren belakangan ini sebagai upaya popularisasi aliran mistikisme yang esoterik.

Landasan kedua kurang dapat diterima mengingat sejumlah jalan spiritual yang dimasuki masyarakat kota dewasa ini telah eksis di Indonesia sejak lama, meski masih bersifat marginal. "Popularisasi" rasanya kurang tepat, melainkan lebih merupakan "pengadopsian" dampak positif amalan sejumlah konsepsi spiritualitas yang diterima sebagai solusi bagi derita psikis masyarakat kota.

Dalam kaitan kondisi psikologis akibat krisis berkepanjangan, landasan pertama dapat diterima sebagai latar belakang maraknya tren kebutuhan akan Jalan Spiritual di tengah dinamika perkotaan. Di samping itu, juga kemerosotan nilai-nilai moral yang demikian mudah merembes ke gaya hidup masyarakat kota.

Spiritualitas selama ini termarginalisasi. Dan memang konsepsi penghayatan kepada kekuasaan Tuhan dapat diterima dengan mudah oleh alam bawah sadar masyarakat pedesaan karena hidup mereka yang "apa adanya". Mereka bekerja untuk memenuhi keperluan hidup. Berbeda dengan kecenderungan masyarakat perkotaan yang menjadikan agama sekadar kewajiban, bagi masyarakat desa agama adalah kebutuhan, yang secara praktis-setelah melalui proses pemberdayaan sisi spiritualitasnya-dapat memberi mereka jawaban-jawaban esensial untuk melakoni hidup. Bagi masyarakat kota, situasi kehidupan materialisme membuat materi menjadi solusi kebahagiaan sehingga penghayatan agama terkesampingkan.

Ketika intelektualisme dan materialisme kian mengakar dalam segala segi kehidupan kota, masyarakat mulai gamang, terutama sejak pukulan krisis ekonomi berdampak pada merosotnya nilai materi sebagai solusi kebahagiaan. Intelektualisme pun, pada tingkat tertentu, berbenturan dengan dinding kokoh yang menghalangi jalan manusia menuju Tuhan. Hakikatnya, manusia adalah makhluk spiritual yang hidup di alam materi. Bukan sebaliknya!

Mengapa pemberdayaan spiritualitas dapat dengan mudah dicerap masyarakat kota yang gamang? Sejauh yang dapat diketahui, jalan spiritual jarang menerapkan ketaatan yang dipaksakan atau doktrin dogmatis. Sifat esoterisme jalan spiritual juga mempunyai peran penting dalam memudahkan orang menerima amalan-amalannya. Dalam hal ini, hubungan dengan Tuhan bersifat pribadi, yang menyebabkan proses penyembuhan kejiwaan si pelaku berlangsung relatif mudah karena ia cenderung mematuhi tuntunan diri pribadinya.

Sebagai contoh praktis, simak pendekatan-pendekatan yang diterapkan beberapa Jalan Spiritual di bawah ini (yang dipilih karena pengaruhnya yang mendunia).

Tasawuf, merupakan interpretasi transformatif dari Islam. Bagaimanapun, banyak dari para eksponennya menyokong doktrin-doktrin yang dapat dipandang kaum Muslimin sebagai sesuatu yang asing bagi agama mereka. Kawasan perkembangannya terpusat di Timur Tengah dan Asia. Terdapat ribuan tarekat Sufi di seluruh dunia, baik yang eksklusif Islam maupun lintas agama. Aspek-aspek tertentu dari tasawuf belakangan ini mulai merebut perhatian dan popularitas di antara para pencari spiritual, terutama karena upaya-upaya yang dilakukan eksponen terkemukanya di zaman modern ini, yaitu Idries Shah (meninggal tahun 1996).

Penyerahan diri secara langsung kepada Tuhan merupakan tema sentral amalan batiniahnya. Apa yang disinggung oleh para penulis Sufi adalah suatu keadaan yang direpresentasi oleh "kemabukan", "pembebasan", "penyerapan diri ke dalam Sang Kuasa" (imanensi) dan sebagainya, yang timbul sebagai hasil dari kepasrahan sepenuhnya, dan tidak didukung oleh upaya yang bersangkutan. Gagasannya adalah bila kita menyerahkan semua hasrat, harapan, ketakutan dan angan- angan tanpa terkecuali, maka yang tersisa adalah rasa diri yang hakiki.

Pengkajian tasawuf kini banyak dilakukan di dalam pengajian-pengajian eksklusif pengusaha dan selebriti di kota-kota besar. Belakangan malah mewabah diskusi-diskusi wacana "tasawuf modern" atau "tasawuf saintifik" di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.

Susila Budhi Dharma (Subud), merupakan suatu perkumpulan spiritual yang didirikan oleh Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo. Yang mengagumkan dari sebuah aliran yang berasal dari Indonesia, yang tidak punya reputasi internasional di bidang spiritualitas, pada tahun 1957 Subud menarik perhatian dan menyebar ke seluruh dunia, dan menarik minat para pengikut spiritual lainnya, termasuk para penganut dari semua agama utama. Hingga kini, organisasi internasionalnya beranggotakan hampir tujuh puluh negara. Di Indonesia sendiri Subud berkembang baik di perkotaan maupun pedesaan dan anggotanya mencakup kalangan intelektual, birokrat, dan pebisnis.

Subud mewakili suatu paradigma baru di mana kekuasaan di balik kehidupan manusia dapat diakses langsung oleh semua orang tanpa syarat amalan khusus serta meniadakan ketergantungan murid kepada guru. Meski berasal dari suatu pengalaman spiritual, Subud bukan agama ataupun aliran kepercayaan, sehingga keanggotaannya terbuka bagi semua pemeluk agama, bangsa maupun budaya. Tidak ada teori, ajaran atau pelajaran, maupun tata cara ritual penyembahan.

Di Subud unsur yang konstan dan aktif adalah latihan berserah dirinya yang dikenal sebagai latihan kejiwaan, suatu bentuk pelatihan pada isi dari diri. Latihan kejiwaan merupakan suatu keadaan penyerahan diri secara ikhlas di mana di dalamnya akan terasa suatu energi. Energi ini memotivasi seorang peserta sesuai dengan kondisinya pada waktu itu. Penyerahan diri di Subud dilakukan langsung kepada kekuasaan Tuhan tanpa upaya atau perantaraan apa pun. Mengadakan upaya atau perantaraan justru bertentangan dalam konteks ini.

Aliran eklektis (electic movements)-disebut demikian karena aliran-aliran esoteris tersebut menyempal dari tradisi keagamaan yang sudah mapan dan mencampuradukkan gagasan-gagasan dari agama atau kepercayaan yang lain. Pergerakan biasanya dipelopori pendeta, imam atau pemimpin pada institusi keagamaan yang disempalinya. Faktor penyebabnya, pada umumnya adalah terabaikannya pemberdayaan spiritualitas dalam praktik-praktik ibadahnya serta ketidakpuasan terhadap doktrin-doktrin dogmatis yang menjunjung rasionalisme. Zen dan Scientology adalah contoh dari pergerakan ini. Beberapa ashram Yoga juga berimplementasi menjadi aliran pemberdayaan spiritualitas dengan mengadaptasi filsafat etika Hindu. Kebanyakan aliran eklektis memakai pendekatan teosofi (paduan teologi dan filsafat) serta meditasi transendental dalam membawa pengikutnya ke jalan spiritual. Di Amerika Serikat dan Eropa banyak pengikut aliran eklektis berasal dari kalangan selebriti, intelektual, dan pejabat pemerintahan.

MASA depan keberlangsungan spiritualitas perkotaan susah ditebak. Semuanya tergantung pada kondisi mental spiritual masyarakat dan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik. Sampai beberapa waktu lalu, pendidikan agama lebih ditekankan pada pengembangan nalar sehingga manusia sibuk berintelektualisasi dan berasionalisasi, tapi kurang mengembangkan spiritualitas. Padahal dalam diri manusia terdapat potensi dan kecenderungan yang berorientasi pada obyek pemikiran dan kontemplasi pada realitas di luar wilayah materi, yang biasa disebut realitas spiritual. Dalam otak manusia terdapat apa yang disebut Danah Zohar (Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence, 2000) sebagai God spot. Seiring kenyataan ini, bisa dikatakan bahwa kebutuhan akan spiritualitas bagi masyarakat perkotaan akan semakin signifikan.

Spiritualitas masyarakat kota dewasa ini di mana nilai-nilai, tujuan hidup, dan kesadaran bahwa diri mereka adalah bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar sebagai ciptaan Tuhan, telah menjadi dasar dari pengembangan kepribadian yang sangat menentukan kebahagiaan hidup lahir dan batin mereka di tengah dinamika perkotaan.

Anto Dwiastoro Alumnus Jurusan Sejarah FSUI, Aktivis Sebuah Jalan Spiritual, Tinggal di Surabaya

sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/28/opini/1614801.htm